SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI
INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Makalah
Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia
dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak
awal masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan
Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat
Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi
titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi
para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.
Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan
Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan
penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan 7 M sering disinggahi pedagang
asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan
Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal
dari Timur Tengah. Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan,
tetapi ada juga yang berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama
Islam telah ada di Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab
tersebut. Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Teori Tentang Negeri
Asal Islam di Indonesia
Negeri
asal masuknya agama Islam ke Indonesia, terdapat beberapa pendapat yang masih
sekarang masih menimbulkan perdebatan. Terdapat tiga teori tentang negeri asal
masuknya agama Islam di Indonesia, yaitu:
1. Teori India
a.
Teori Pertama
Teori
ini menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari Gujarat dan Malabar. Pendapat
ini dipelopori oleh Pijnapel, yang menelusuri Islam Indonesia kepada pengikut
mazhab Syafi’i dari Gujurat dan Malabar. Apalagi kawasan ini sering disebut dalam
sejarah purbakala Indonesia. Pendapat ini diikuti oleh ilmuan di belakangnya
seperti W. F. Stutterheim, J. C. Van Leur, T. W. Arnold, Bernard H. M. Vlekke,
Schrieke, dan Clifford Geertz.
b.
Teori Kedua
Teori
yang menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari India selatan, tepatnya dari
Koromandel. Pendapat ini dipelopori oleh Snouck Hurgronje. Dia memperlihatkan
pengaruh India Selatan dalam bidang sastera, tasawuf populer dan
legenda-legenda agama suku-suku bangsa muslim di kepulauan Indonesia. Pendapat
ini diperkuat oleh G. E. Marrison yang menyatakan bahwa Islam datang dari
pantai Koromandel. Alasannya, Cambay pada tahun 1393 sebagai kota Hindu dan
Gujarat baru jatuh ke tangan Muslim pada tahun 1297. Ia juga menyebutkan bahwa
orang-orang Muslim sudah mapan selama berabad-abad di India Selatan, tanpa
mempunyai kekuasaan politik, sebelum ekspansi kesultanan Delhi pada awal abad
ke-14. Di samping itu, ia menyatakan bahwa mazhab Syafi’i tidak ghalib di
Gujarat. Seluruh Hikayat Raja-raja Pasai mempunyai latar belakang yang
sangat diwarnai oleh India Selatan.
2. Teori Benggali
Teori
Benggali berpendapat bahwa Islam Indonesia berasal dari Benggali (Bangladesh
sekarang). Pendapat ini dikembangkan oleh S. Fatimi. Dengan bersandar kepada
pendapat Marcopolo dan Tome Pires. S. Fatimi menyimpulkan bahwa Islamnya
kerajaan Samudera Pasai berasal dari Benggali. Hal itu dikuatkannya dengan
sudah terjalinnya hubungan niaga antara Benggali dan Samudera Pasai sejak zaman
purba. Di samping itu, Benggali ditaklukkan orang-orang Muslim dan diislamkan
pada kira-kira tahun 1200, satu abad sebelum Gujarat dan India Selatan.
Dalam
bukunya Tome Pires juga menggambarkan tentang Samudera Pasai. Di Samudera Pasai
banyak bermukim saudagar Moor dan India, yang terpenting adalah orang-orang
Benggala. Keterangan Pires inilah yang merupakan titik pangkal pendapat bahwa
Islam di Indonesia diimpor dari Benggala.
3. Teori Arab
Adapun
teori yang menyatakan Islam Indonesia berasal dari Arab, pertama kali
dilontarkan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859) kemudian diikuti oleh Niemann
(1861), de Hollander (1981), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan, bahwa Islam
Indonesia berasal dari Mesir, dengan alasan Mesir menganut Mazhab Syafi’i ;
Hollander berpendapat dari Hadramut juga dengan alasan negeri itu menganut
mazhab Syafi’i ; sedangkan Veth hanya menyebutkan bahwa Islam Indonesia dibawa
oleh orang-orang Arab, tanpa menyebutkan tempat asal. Di Indonesia pendapat ini
dipopulerkan oleh Hamka. Teori yang dikembangkan Hamka ini mendapatkan perhatian
dan pembenaran dalam seminar-seminar yang membahas sejarah masuknya Islam di
Indonesia, baik nasional maupun lokal.
Ilmuan
lainnya adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Dalam karangannya yang berjudul Islam
dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dia menyatakan: “ Teori bahwa Islam itu
datangnya dari India dan dibawa serta dan disebarkan oleh orang-orang India
harus kita tolak dan singkirkan pengenaannya terhadap sejarah asal-usul Islam
di sini ”. Dia berpendapat bahwa dalam teori India itu penekanan didasarkan atas
ciri-ciri “luar”. Dia menganjurkan agar penelusuran asal-usul Islam di sini
dilakukan melalui kenyataan-kenyataan “dalam”. Dan tulisan serta bahasa dan
kesusasteraan yang benar-benar merupakan ciri yang sah untuk memutuskan perkara
ini. Menurutnya, tidak satupun laporan, rujukan atau sebutan yang merujuk
kepada penulis India atau kepada kitab yang berasal dari India dan digubah oleh
orang India. Mubaligh-mubaligh lama Islam di daerah ini pun terdiri dari
orang-orang Arab.
B. Teori
Tentang Masa Kedatangan Islam di Indonesia
1. Teori Pertama
Teori
pertama, menyatakan bahwa Islam sudah datang di Indonesia sejak abad pertama
Hijriah atau abad ke-7/8 M. Di anatara ilmuan yang menganut teori ini adalah :
J. C. Van Leur, T. W. Arnold, Hamka, Abdullah bin Nuh dan D. Shahab.
Di
antara alasan yang dijadikan sandaran mereka adalah bahwa pada 674 di pantai
Barat Sumatera telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam. Bangsa Arab
sudah aktif dalam lapangan perniagaan laut sejak abad-abad pertama Masehi.
Mereka telah lama mengenal jalur perdagangan laut melalui Samudera Indonesia
2. Teori Kedua
Teori
kedua, menyatakan bahwa Islam datang di Indonesia pada abad ke-13. Di antara
sejarawan yang menganut teori ini adalah C. Snouck Hurgronje. Pendapat ini
kemudian diikuti oleh banyak sejarawan, seperti W. F. Stutterheim dan Bernard
H. M. Vlekke. Pendapat ini di dasarkan pada batu nisan Sultan pertama dari
Kerajaan Samudera Pasai, yakni al-Malik al-Saleh yang wafat pada 1297. Alasan
lainnya adalah keterangan Marcopolo yang menyatakan bahwa di Perlak pada tahun
1292, penduduknya telah memeluk agama Islam. Namun, dia menyatakan bahwa Perlak
merupakan satu-satunya daerah Islam di Nusantara ketika itu.
II.2 Kedatangan
Islam dan Cara Penyebarannya
Kedatangan
Islam dan cara penyebarannya di kalangan golongan bangsawan dan rakyat umumnya,
ialah dengan cara damai, melalui perdagangan dan dakwah yang dilakukan para
pedagang, mubaligh-mubaligh atau orang-orang alim.
Indonesia
sekarang merupakan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Penyebaran
Islam di Indonesia diakui dengan cara-cara damai. Saluran-saluran islamisasi
dan cara pelaksanaannya tentu tidak sedikit. Saluran-saluran itu saling
berkaitan, sehingga saluran yang satu memperkuat saluran yang lain. Misalnya
saluran perdagangan diperkuat dengan saluran perkawinan, saluran-saluran
tasawuf diperkuat dengan saluran pendidikan, dan seterusnya.
Saluran-saluran
itu diantaranya adalah:
1. Saluran Perdagangan
Saluran
perdagangan sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 hingga
abad ke-16. Pada saat itu pedagang-pedagang muslim turut serta ambil bagian
dalam perdagangan dengan di kawasan Indonesia. Penggunaan perdagangan sebagai
saluran islamisasi dimungkinkan karena dalam Islam tidak ada pemisahan antara
kegiatan berdagang dan kewajiban dakwah. Proses Islamisasi melalui saluran
perdagangan dipercepat oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di
mana adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat
kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Mula-mula mereka
berdatangan di pusat-pusat perdagangan dan di antaranya kemudian ada yang
tinggal, baik untuk sementara waktu maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal
mereka berkembang menjadi perkampungan, yang disebut Pekojan. Lingkungan mereka
makin luas dan dengan cara demikian lambat laun timbul kampung-kampung,
daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan muslim.
2. Saluran Perkawinan
Melalui
saluran perkawinan antara pedagang atau saudagar dengan wanita pribumi juga
merupakan bagian yang erat berjalinan dengan Islamisasi. Perkawinan merupakan
salah satu saluran Islamisasi yang lebih menguntungkan lagi apabila terjadi
antara saudagar, ulama atau golongan lain, dengan anak bangsawan atau anak raja
dan adipati, karena status sosial-ekonomi, terutama politik raja-raja,
adipati-adipati, dan bangsawan-bangsawan pada waktu itu turut mempercepat
proses Islamisasi.
3. Saluran Tasawuf
Tasawuf
juga merupakan salah satu saluran penting dalam proses Islamisasi. Para guru
terekat memegang peranan penting juga dalamorganisasi masyarakat kota-kota
pelabuhan. Mereka adalah guru-guru pengembara yang mengajarkan teosofi yang
telah bercampur, yang dikenal luas oleh bangsa Indonesia tetapi yang sudah
menjadi keyakinannya. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai
kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Mereka siap untuk memelihara kelanjutan dengan
masa lampau dan menggunakan istilah-istilah dan anasir-anasir budaya pra-Islam
dalam hubungan Islam. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang
mengandung persamaan dengan alam pikiran mistik Indonesia-Hindu adalah Hamzah
al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani di Aceh, Syekh Lemah Abang dan Sunan
Panggung di Jawa.
4. Saluran Pendidikan
Kecuali
melalui Tasawuf, Islamisasi juga dilakukan melalui lembaga pendidikan. Lembaga
pendidikan Islam sudah berdiri sejak pertama kali Islam datang ke Indonesia. Di
Aceh lembaga-lembaga pendidikan Islam itu mengambil bentuk yang beragam
sehingga memunculkan beberapa nama, seperti meunasah, dayah dan rangkang. Di
Sumatera Barat dikenal lembaga pendidikan Islam surau. Di Kalimantan dikenal
lembaga pendidikan Islam langgar. Sementara di Jawa dikenal pondok dan
pesantren. Belum lagi kalau dimasukkan ke dalam kriteria lembaga pendidikan
Islam pengajian-pengajian al-Qur’an yang berlangsung di rumah-rumah alim ulama.
Di
lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut dilangsung pembinaan calon guru-guru
agama, kyai-kyai atau ulama-ulama. Setelah menamatkan pendidikan, mereka
kembali ke kampung masing-masing atau ke desa-desanya, tempat mereka menjadi
tokoh keagamaan.
5. Saluran Kesenian
Saluran
dan cara Islamisasi lain dapat pula melalui cabang-cabang kesenian seperti seni
bangunan, seni pahat dan ukir, seni tari, seni musik dan seni sastra. Dengan
kesenian ini dimaksudkan bahwa jenis-jenis kesenian pra-Islam tetap
dipertahankan, sehingga penduduk Indonesia tidak merasa asing masuk ke dalam
lingkungan Islam. Di antara karya seni yang terkenal dijadikan alat Islamisasi
adalah pertunjukan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi
minta agar para penonton mengikutinya mengucapkan Kalimat Syahadat, yang
berarti dengan demikian orang menjadi masuk Islam. Sebagian besar cerita wayang
masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi sedikit demi sedikit
nama tokoh-tokohnya diganti menjadi nama-nama pahlawan Islam.
II.3. Masuknya Islam Ke Indonesia
Ditinjau dari sudut sejarah, agama
Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara. Pada umumnya pembawa agama
Islam adalah para pedagang yang berasal dari jazirah Arab, mereka merasa
berkewajiban menyiarkan agama Islam kepada orang lain. Agama Islam masuk ke
Indonesia dengan cara damai, tidak dengan kekerasan, peperangan ataupun
paksaan.
Ada beberapa pendapat para ahli
tentang waktu dan daerah yang mula-mula dimasuki Islam di Indonesia, di
antaranya yaitu:
A. Drs
Juned Pariduri, berkesimpulan bahwa agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia
melalui daerah Sumatra Utara (Tapanuli) pada abad ke-7. Kesimpulan ini
didasarkan pada penyelidikannya terhadap sebuah makam Syaikh Mukaiddin di
Tapanuli yang berangka tahun 48 H (670 M).
B.
Hamka, berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada abad ke-7 M(674). Hal
ini didasarkan pada kisah sejarah yang menceritakan tentang Raja Ta-Cheh yang
mengirimkan utusan menghadap Ratu Sima dan menaruh pundi-pundi berisi emas
ditengah-tengah jalan dengan maksud untuk menguji kejujuran, keamanan dan
kemakmuran negeri itu. Menurut Hamka, Raja Ta-Cheh adalah Raja Arab Islam.
C.
Zainal Arifin Abbas, berpendapat bahwa agama Islam masuk di Sumatra Utara pada
abad 7 M (648). Beliau mengatakan pada waktu itu telah datang di Tiongkok
seorang pemimpin Arab Islam yang telah mempunyai pengikut di Sumatra Utara.
Berdasarkan pendapat para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7
M. Pada abad ke-13 agama Islam berkembang dengan pesat ke seluruh Indonesia. Hal itu di tandai
dengan adanya penemuan-penemuan batu nisan atau makam yang berciri khas Islam,
misalnya di Leran (dekat Gresik) terdapat sebuah batu berisi keterangan tentang
meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun pada tahun 1082 dan
di Samudra Pasai terdapat makam-makam Raja Islam, di antaranya Sultan Malik
as-Shaleh yang meninggal pada tahun 676 H atau 1292 M.
Berbeda dengan pendapat di atas, dua
orang sarjana barat yaitu Prof. Gabriel Ferrand dan Prof. Paul Wheatly.
Bersumber pada keterangan para musafir dan pedagang Arab tentang Asia Tenggara,
maka ke-2 sarjana tersebut bahwa agama Islam masuk ke Indonesia sejak awal ke-8
M, langsung dibawa oleh para pedagang dan musafir Arab.
II.4 Perkembanagn islam di indonesia
1. Sumatera
a. Pantai Barat
Pulau Sumatera
Sesuai
dengan keputusan “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” yang diadakan di Medan
tahun 1963, maka tempat yang mula-mula masuknya Islam di Pulau Sumatera adalah
“Pantai Barat Sumatera”. Dari sana berkembang ke daerah-daerah lainnya.
Beberapa ahli yang berpendapat tentang masuknya Islam di Sumatera pada abad
Ke-7 M itu yaitu: Sayed Alwi bin Tahih al Haddad Mufsi, H. M. Zaenuddin, Zainal
Arifin Abbas
b. Samudera Pasai
Agama
Islam berkembang di Indonesia mula-mula di Pasai Aceh Utara. Para pembawa agama
Islam ini mula-mula berda’wah di kalangan rakyat biasa lewat perdagangan.
Dengan kesopanan dan keramahan orang Arab yang berda’wah itu, maka penduduk
Pasai sangat terkesan dan akhirnya menyatakan diri masuk Islam. Begitu pula
Raja dan para pemimpin negeri masuk Islam.
Maka
berdirilah Kerajaan Islam pertama kali di Pasai. Pada saat itu, tiba masanya
perkembangan Islam khususnya di daerah Aceh dan Sumatera Utara untuk memperluas
penyiaran Islam. Maka berkembanglah Islam dari Pasai ke Malaka, Tapanuli, Riau,
Minangkabau, Kerinci dan ke daerah-daerah lainnya. Kerajaan Islam Pasai berdiri
sekitar tahun 1297, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Serambi Makkah”.
c. Sumatera Barat
Setelah
agama Islam berkembang di Pasai, tidak lama sesudah itu tersebar pula ke
daerah-daerah lain yaitu ke Pariaman Sumatera Barat. Islam datang ke Pariaman
dari Pasai dengan melalui laut “Pantai Barat Pulau Sumatera”. Ulama yang
terkenal membawa Islam ke Pariaman itu adalah Syekh Burhanuddin. Penyiaran
agama Islam dilakukan secara pelan-pelan dan bertahap, sebab adat di Sumatera
Barat sangat kuat.
Sebagai
bukti bahwa agama Islam diterima oleh masyarakat Sumatera Barat dengan kerelaan
dan kesadaran adalah dengan populernya pepatah yang mengatakan : “Adat bersendi
syara”, syara bersendi Kitabullah”. Jadi adat istiadat yang sangat dipegang
teguh oleh masyarakat Sumatera Barat itu adalah “Adat yang bersendikan Islam”
artinya Islam menjadi dasar adat.
d. Sumatera Selatan
Sekitar
tahun 1440 agama Islam masuk ke Sumatera Selatan. Mubaligh yang paling berjasa
membawa Islam ke Sumatera Selatan adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Arya Damar
yang terkenal dengan nama Aryadillah (Abdillah) adalah Bupati Majapahit di
Palembang waktu itu, kemudian Raden Rahmat (Sunan Ampel) memberi saran kepada
Abdillah agar bersedia menyebarkan agama Islam di Sumatera Selatan. Atas rahmat
dan petunjuk Allah, saran Raden Rahmat tersebut dilaksanakan oleh Ardillah,
sehingga agama Islam di Sumatera Selatan berkembang dengan baik.
2. Jawa
Menurut
berita Tionghoa pada tahun 1416 M di tanah Jawa sudah banyak orang Islam,
tetapi orang asing. Hal ini dapat dikaitkan dengan wafatnya seorang mubaligh
Islam yang mula-mula menyiarkan Islam di Jawa, yaitu Maulana Malik Ibrahim
(wafat 1419)
Sebelum
Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa, rupanya telah banyak pedagang-pedagang
Islam yang berniaga sambil menyiarkan agama Islam. Hal ini dikuatkan dengan
diketemukan makam dari seorang wanita Islam yang bernama Fatimah binti Maimun
yang wafat pada tahun 475 H/1082 M dimakamkan di Gresik.
Dalam
mengupas tersebarnya Islam di Jawa tidaklah lengkap rasanya bila tidak
mengemukakan “Wali Songo” sebagai mubaligh-mubaligh ternama di tanah Jawa. Para
wali itu sangat besar jasanya dalam penyiaran Islam di Jawa, walaupun banyak
rintangan yang mereka hadapi, namun dengan ketekunan, kebijaksanaan dan
perjuangan mereka, Islam bisa masuk ke pelosok-pelosok tanah Jawa.
3. Kalimantan
a. Kalimantan
Selatan
Di
pulau Kalimantan, agama Islam mula-mula masuk di Kalimantan Selatan. Nama
kotanya adalah Banjarmasin. Pembawa agama Islam ke Kalimantan Selatan ini
adalah para pedagang bangsa Arab dan para mubaligh dari pulau Jawa.
Perkembangan agama Islam di Kalimantan Selatan itu sangat pesat dan mencapai
puncaknya setelah kerajaan Majapahit runtuh tahun 1478.
b. Kalimantan
Barat
Daerah
lainnya di Kalimantan yang dimasuki agama Islam adalah kalimantan Barat. Islam
masuk ke Kalimantan Barat itu mula-mula di daerah Muara Sambas dan Sukadana.
Dari dua daerah inilah baru kemudian tersebar ke seluruh Kalimantan Barat.
Pembawa agama Islam ke daerah Kalimantan Barat adalah para pedagang dari Johor
(Malaysia) dan Mubaligh dari Palembang (Sumatera Selatan).
Sultan
Islam yang pertama (tahun 1591) di Kalimantan Barat berkedudukan di Sukadana
yaitu Panembahan Giri Kusuma. Sedang Sultan Sukadana yang kedua Sultan Muhammad
Safiuddin (1677).
4. Sulawesi
Islam
masuk ke Sulawesi pada awal abad XVI M dimulai dari Sulawesi Selatan. Hal ini
dikaitkan bahwa pada tahun 1540 M di Sulawesi Selatan telah dijumpai
pemeluk-pemeluk Islam, terutama suku Bugis dan Makasar. Kerajaan di Sulawesi
Selatan yang mula-mula menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan ialah
Kerajaan Goa dan Tallo. Raja Tallo yang merangkap pekerjaan sebagai Mangkubumi
kerajaan Goa, dan menerima Islam sebagai agamanya adalah Malingkrang Daeng
Manyari. Sesudah memeluk agama Islam, beliau bergelar Sultan Abdullah Awwalalul
Islam. Selanjutnya Raja Goa ke XIV Baginda I Manggerengi Daeng Manrabia juga
memeluk Islam, lalu berganti nama menjadi Sultan Alaudin. Dengan masuk Islamnya
raja-raja Tallo dan Goa, maka rakyat segera mengikutinya. Dan dalam waktu dua
tahun seluruh rakyat Goa dan Tallo di-Islamkan. Adapun mubaligh yang berjasa
dalam meng-Islamkan raja dan rakyat Goa dan Tallo adalah Abdul Qadir Khatib
Tunggal, berasal dari Minangkabau dan diperkirakan pernah menjadi murid Sunan
Giri.
5. Nusa Tenggara
Pada
tahun 1540 agama Islam masuk pula ke Nusatenggara. Masuknya agama Islam ke
Nusatenggara dibawa oleh para mubaligh dari Bugis (Sulawesi Selatan) dan
mubaligh dari pulau Jawa.
Agama
Islam berkembang di Nusatenggara mula-mula di daerah Lombok yang penduduknya
disebut suku Sasak. Agama masuk Lombok dengan damai atas jasa dari
mubaligh-mubaligh orang Bugis yang masyhur pandai berlayar dan berdagang
itu. Secara berangsur-angsur akhirnya penduduk Lombok mayoritas beragama Islam.
Dari daerah Lombok, secara pelan-pelan selanjutnya tersebar pula ke
daerah-daerah Sumbawa dan Flores
Yang
berjasa besar untuk meng-Islamkan penduduk Nusa tenggara itu ialah
pedagang-pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan, dan ada pula pedagang dan
mubaligh dari Jawa. Peng-Islaman di Nusatenggara dengan lancar dan dapat
mencapai prosentasi yang tinggi ialah di Lombok dan Sumbawa.
Lebih
dari itu Sumbawa berhasil mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Bima.
Pengembangan agama Islam di Bima sejak awal abad ke-16, penyiarannya datang
dari dua arah yaitu dari Jawa dan dari Sulawesi Selatan.
Yang
berhasil meng-Islamkan penduduk Flores ialah : kaum muslimin Bugis dengan jalan
mempelajari Bahasa Flores dengan menyesuaikan adat istiadat di sana. Dengan
demikian penduduk Flores banyak yang masuk Islam sekalipun mereka sudah
beragama Katholik.
II.5. Corak dan Perkembangan Islam di Indonesia
A. Masa
Kesulthanan
Untuk melihat lebih jelas gambaran keislaman di kesultanan
atau kerajaan-kerajaan Islam akan di uraikan sebagai berikut.
Di daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh
kebudayaan Hindu-Budha seperti daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera
dan Banten di Jawa, Agama Islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama,
sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut
agama Islam itu telah menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan
Islam selanjutnya tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas
dan kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat
Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan
di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di
kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya
berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam
Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah
Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai
lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar,
di berlakukannya hukum bunuh bagi orang
murtad, hukum potong tangan untuk
pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat zina.
Guna memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa, maka
dilakukan upaya agar Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang
lainnya, serta dibangun masjid sebagai pusat pendidikan Islam.
Dengan kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah
petinggi dan penguasa kerajaan untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk
agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun
akan masuk agama tersebut dan akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan
kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya. Ini seperti
ketika di pimpin oleh Sultan Agung. Ketika Sultan Agung masuk Islam,
kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram ikut pula masuk Islam
seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain sebagainya. Lalu Sultan Agung
menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan istilah-istilah keislaman,
meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti sebenarnya.
B.
Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses transformasi
sosial yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu
portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris. Tujuannya adalah
menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan
Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang ke
Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang karena Indonesia kaya akan
rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan
menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi setelah kedatangan Snouck
Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah
Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah Islam di
Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di
Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang di kenal
dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam
dalam tiga kategori, yaitu:
1.
Bidang agama murni atau ibadah;
2.
Bidang sosial kemasyarakatan; dan
3.
Politik.
Terhadap bidang agama murni,
pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan
ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah
memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah
teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie yang
maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan
alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan dalam bidang politik,
pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari Al-Qur’an
maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
C. Gerakan
dan organisasi Islam
Akibat dari “resep politik Islam”-nya Snouck Hurgronye
itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin
bertambah menghadapi tiga tayangan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu:
politik devide etimpera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik
menjinakan melalui asosiasi.
Namun, ajaran Islam pada hakikatnya
terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut,
orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan
fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir
kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik
bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi,
dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di
Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbullah
perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah pemikir-pemikir politik yang
sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam itu berdasarkan ideologi
Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat di terima
dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara partai-partai
politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin Islam, yaitu santri
dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan
lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir yang mengompromikan rasionalisme
Barat dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga sejak
itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua kubu: para cendekiawan Muslimin
berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama tradisional.
Selama pendudukan jepang, pihak
Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari pada golongan nasionalis
karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga
perantara politik berikut ini yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang
yang menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
1.
Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi
zaman Belanda.
2.
Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan
MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943.
3.
Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan Allah), semacam organisasi militer untuk
pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin.
II.6 Tokoh-Tokoh
Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat
dilepas dari peran aktif para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima
dengan baik dikalangan masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai
berikut:
a.
Hamzah Fansuri
Ia hidup pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak
hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam
pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra
Arab.
b.
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa,
Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan
Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin Abdullah
Al-‘allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin Ar-Raniri
(Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub
Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.
c.
Syaikh Abdussamad Al-Palimbani
Ia merupakan salah seorang ulama
terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari
San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama
sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.
d.
Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar, Serang,
Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, di didik oleh
ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga
belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di
Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia belajar Sayid Abmad bi
Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan.
Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas
Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada tahun 1833 beliau kembali ke
Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia banyak terlibat proses belajar
mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang tertarik denga kepandaiannya..
tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di kampung halamannya. Karena itu
pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan menetap disana hingga beliau wafat
pada tahun 1897 M/1314 H.
e.
Wali Songo
Dalam sejarah penyebaran Islam di
Indonesia, khususnya di pulau Jawa terdapat sembilan orang ulama yang memiliki
peran sangat besar. Mereka dikenal dengan sebutan wali songo.
Para wali ini umumnya tinggal di
pantai utara Jawa sejak dari abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16. Para
wali menyebarkan Islam di Jawa di tiga wilayah penting, yaitu; Surabaya, Gresik
dan Lamongan (Jawa Timur), Demak, Kudus dan Muria (Jawa Tengah), serta di
Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah para ulama yang menjadi pembaru
masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru
seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan
hingga pemerintahan.
Adapun wali-wali tersebut yaitu;
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga,
Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria.
II.7 Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
1. Ilmu-ilmu Keagamaan
Perjuangan itu dilakukan, diberbagai aspek antara lain pendidikan, kesehatan,
dakwah, sosial, politik hingga teknologi. Setidaknya ada dua cara yang
dilakukan oleh para ulama dalam menumbuhkembangkan ajarannya yaitu sebagai
berikut :
a. Membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubalig ke
daerah-daerah yang lebih luas.
b. Melalui karya-karya tulisan yang tersebar dan dibaca di seluruh Nusantara.
Karya-karya itu mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu agama di
Indonesia pada masa itu.
Ilmuwan-ilmuwan muslim di Indonesia tersebut, antara lain :
a. Hamzah Fansuri (sufi) dari Sumatera Utara. Karyanya yang berjudul Asrar Al
Arifin fi Bayan ila Suluk wa At Tauhid.
b. Syamsuddin As Sumatrani dengan karyanya berjudul Mir’atul Mu’min (Cermin
Orang Beriman).
c. Nurrudin Ar Raniri, yaitu seorang yang berasal dari India keturunan Arab
Quraisy Hadramaut. Karya-karyanya meliputi ilmu fikih, hadis, akidah, sejarah,
dan tasawuf yang diantaranya adalah As Sirat Al Mustaqim (hukum), Bustan As
Salatin (sejarah), dan Tibyan fi Ma’rifat Al Adyan (tasawuf).
d. Abdul Muhyi yang berasal dari Jawa. Karyanya adalah kitab Martabat Kang Pitu
(Martabat yang Tujuh).
e. Sunan Bonang dengan karyanya Suluk Wijil
f. Ronggowarsito dengan karyanya Wirid Hidayat Jati
g. Syekh Yusuf Makasar dari Sulawesi (1629-1699 M). Karya-karyanya yang belum
diterbitkan sekitar 20 buah yang masih berbentuk naskah.
h. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1812 M) seorang ulama produktif yang
menulis kitab sabitul Muhtadil (fikih).
i. Syekh Nawawi Al Bantani yang menulis 26 buah buku diantaranya yang terkenal
Tafsir Al Muris
j. Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau (1860-1916 M)
2. Arsitektur Bangunan
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau memiliki penduduk yang juga terdiri
dari beragam suku, bangsa, adat, kebiasaan dan kebudayaan masing-masing. Oleh
karena itu perbedaan latar belakang tersebut, arsitektur bangunan-bangunan
Islam di Indonesia tidak sama antara satu tempat dengan tempat yang lainnya.
Beberapa hasil seni bangunan pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di
Indonesia antara lain. Masjid-masjid kuno di Demak, Sandang Duwur Agung di
Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten dan Masjid Baiturahman di Aceh.
Beberapa masjid masih memiliki seni masih memiliki seni bangunan yang
menyerupai bangunan merupai pada zaman Hindu. Ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan
lengkung pola kalamakara, mihrab dan bentuk mastaka atau memolo menunjukkan
hubungan yang erat dengan kebudayaan agama Hindu, seperti Masjid Sendang Duwur.
II.8 Peranan Umat Islam pada Masa Penjajahan, Masa Kemerdekaan dan Masa
Perkembangan
1. Masa penjajahan
Jauh sebelum Belanda masuk ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Nusantara
telah memeluk agama Islam yang ajarannya penuh kedamaian, saling menghormati,
dan tidak bersikap buruk sangka terhadap bangsa asing. Semula bangsa asing
seperti Portugis dan Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi
dalam perkembangan selanjutnya niat itu berubah menjadi keinginan untuk
menjadikan Indonesia sebagai koloni di bawah kekuasaan dan jajahannya. Portugis
berhasil meluaskan wilayah dagangnya dengan menguasai Bandar Malaka di tahun
1511 sehingga akhirnya mereka dapat masuk ke Maluku, Ternate dan Tidore.
Portugis juga mematikan aktivitas perdagangan kaum muslim Indonesia di daerah
lainnya seperti Demak. Pada tahun 1527 M, Demak di bawah pimpinan Fatahillah
berhasil menguasai Banten. Banten dan Aceh kemudian menjadi pelabuhan yang
ramai menggantikan Bandar Malaka.
Dilandasi semangat tauhid dan hasil pendidikan yang diperoleh dari pesantren
menyebabkan semakin bertambahnya kader pemimpin dan ulama yang menjadi pengayom
masyarakat. Kaum bangsawan dan kaum adat yang semula tidak memahami niat para
ulama untuk mempertahankan Indonesia dari cengkeraman penjajah secara perlahan
bersatu padu untuk mempertahankan Nusantara dari ekspansi Belanda.
Contoh perlawanan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut antara lain:
1. Tuanku Imam Bonjol melalui Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat.
2. Pangeran Diponegoro (1815-1838) melalui Perang Diponegoro di Jawa Tengah.
3. Perang Aceh (1873-1904) di bawah pimpinan Panglima Pilom, Teuku Cik Ditiro,
Teuku Umar, dan Cut Nyak Din.
2. Masa Kemerdekaan
Umat Islam kemudian mengganti perjuangannya melawan penjajahan dengan strategi
atau jalan mendirikan organisasi-organisasi Islam yang diantaranya sebagai
berikut :
a. Syarikat Dagang Islam
Syarikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam berdiri pada
tahun 1905 dipimpin oleh H. samanhudi, A.M. Sangaji, H.O.S. Cokroaminoto dan H.
Agus Salim. perkumpulan ini berdiri dengan maksud untuk meningkatkan taraf
hidup bangsa ndonesia, terutama dalam dunia perniagaan.
b. Jam’iatul Khair
Berdiri pada tahun 1905 M di Jakarta adalah pergerakan Islam yang pertama di
pulau Jawa. Anggotanya kebanyakan keturunan (peranakan) Arab.
c. Al Irsyad
Al Irsyad adalah organisasi Islam yang didirikan tahun 1914 M oleh para
pedagang dan ulama keturunan Arab, seperti Syekh Ahmad Sorkali.
d. Perserikatan Ulama
Gerakan modernis Islam yang berdiri pada tahun 1911 M oleh Abdul Halim dan
berpusat di Majalengka Jawa Barat. Organisasi ini diakui keberadaannya oleh
Belanda tahun 1917 dan bergerak dibidang ekonomi dan sosial, seperti mendirikan
panti asuhan yatim piatu pada tahun 1930 M.
e. Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan
bertepatan tanggal 8 Zulhijah 1330. Muhammadiyah bukan merupakan partai
politik, tetapi gerakan Islam yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan.
f. Nahdatul Ulama
Didirikan pada bulan Januari 1926 oleh KH. Hasyim Asy’ari yang bertujuan
membangkitkan semangat para ulama Indonesia dengan cara meningkatkan dakwah dan
pendidikan karena saat itu Belanda melarang umat Islam mendirikan sekolah-sekolah
yang bernafaskan Islam seperti Pesantren.
3. Masa Perkembangan
Di masa perkembangan atau setelah memperoleh kemerdekaan, umat Islam juga
memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya memajukan bangsa dan negara.
Peran-peran tersebut antara lain dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut.
a. Membentuk Departemen Agama
Tujuan dan fungsi Departemen Agama dirumuskan sebagai berikut:
1) Mengurus serta menuntut pendidikan agama di sekolah-sekolah serta membimbing
perguruan-perguruan agama.
2) Mengikuti dan memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan agama dan
keagamaan.
3) Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
b. Di Bidang Pendidikan
Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar
di berbagai pelosok daerah. Lembaga ini dipimpin oleh seorang kyai dan saat ini
sudah banyak muncul pesantren yang bersifat modern. Artinya, pendidikan Islam
tersebut memiliki kurrikulum dan jenjang-jenjang pendidikan mulai dari tingkat
dasar (ibtidaiyah), menengah (tsanawiyah), dan tingkat atas (aliyah), bahkan
sampai ke tingkat perguruan tinggi, seperti Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang telah menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN).
c. Majelis Ulama Indonesia
Selain Departemen Agama, pemerintah Indonesia juga mendirikan Majelis Ulama
Indonesia (MUI), yaitu suatu wadah kerja sama antara pemerintah dan ulama dalam
urusan keorganisasian, khususnya agama Islam. Majelis Ulama Indonesia bergerak
dalam bidang dakwah dan pendidikan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat berdiri
pada bulan Oktober 1962 yang memiliki tujuan awal antara lain sebagai berikut :
1) Pembinaan mental dan agama bagi masyarakat.
2) Ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan revolusi dan pembangunan semesta
berencana dalam rangka demokrasi terpimpin.
BAB III
PENUTUP
III.1 Hikmah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia
Setelah memahami bahwa perkembangan Islam di Indonesia memiliki warna atau ciri
yang khas dan memiliki karakter tersendiri dalam penyebarannya, kita dapat
mengambil hikmah, diantaranya sebagai berikut:
1. Islam membawa ajaran yang berisi kedamaian.
2. Penyebar ajaran Islam di Indonesia adalah pribadi yang memiliki ketangguhan
dan pekerja keras.
3. Terjadi akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan lokal meskupin Islam
tetap memiliki batasan dan secara tegas tidak boleh bertentangan dengan ajaran
dasar dalam Islam.
III.2 Manfaat dari Sejarah
Perkembangan Islam di Indonesia
Banyak manfaat yang dapat kita ambil untuk dilestarikan diantaranya sebagai
berikut:
1. Kehadiran para pedagang Islam yang telah berdakwah dan memberikan pengajaran
Islam di bumi Nusantara turut memberikan nuansa baru bagi perkembangan
pemahaman atas suatu kepercayaan yang sudah ada di nusantara ini.
2. Hasil karya para ulama yang berupa buku sangat berharga untuk dijadikan
sumber pengetahuan.
3. Kita dapat meneladani Wali Songo telah berhasil dalam hal-hal seperti
berikut.
a. Menjadikan masyarakat gemar membaca dan mempelajari Al Quran.
b. Mampu membangun masjid sebagai tempat ibadah dalam berbagai bentuk atau
arsitektur hingga ke seluruh pelosok Nusantara
4. Mampu memanfaatkan peninggalan sejarah, termasuk situs-situs peninggalan
para ulama, baik berupa makam, masjid, maupun peninggalan sejarah lainnya.
5. Seorang ulama atau ilmuwan dituntut oleh Islam untuk mempraktikkan tingkah
laku yang penuh keteladanan agar terus dilestarikan dan dijadikan panutan oleh
generasi berikutnya.
6. Para ulama dan umara bersatu padu mengusir penjajah meskipun dengan
persenjataan yang tidak sebanding.
III.3 Perilaku Penghayatan Sejarah Perkembangan
Islam di Indonesia
Ada beberapa perilaku yang merupakan cerminan dari penghayatan terhadap manfaat
yang dapat diambil dari sejarah perkembangan Islam, yaitu antara lain sebagai
berikut:
1. Berusaha menjaga persatuan dan kerukunan antaraumat beragama, saling
menghormati, dan tolong menolong.
2. Menyikapi kejadian masa lalu dengan sikap sabar dan tetap meyakini bahwa
setiap kejadian pasti ada hikmahnya.
3. Sumber ilmu pengetahuan yang berupa karya tulis dari para ulama hendaknya
terus digali atau dipelajari dan dipahami maksudnya.
Tolong dong iklannya diklik, hitung hitung iseng. sekalian bales budi ama gua=D tolong ya diklik. Terimakasih