SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSANTARA / INDONESIA


SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

I.1.    Latar Belakang Makalah
Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan 7 M sering disinggahi pedagang asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.













BAB II
PEMBAHASAN

II.1   Teori Tentang Negeri Asal Islam di Indonesia
Negeri asal masuknya agama Islam ke Indonesia, terdapat beberapa pendapat yang masih sekarang masih menimbulkan perdebatan. Terdapat tiga teori tentang negeri asal masuknya agama Islam di Indonesia, yaitu:

1.    Teori India
a.    Teori Pertama
Teori ini menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari Gujarat dan Malabar. Pendapat ini dipelopori oleh Pijnapel, yang menelusuri Islam Indonesia kepada pengikut mazhab Syafi’i dari Gujurat dan Malabar. Apalagi kawasan ini sering disebut dalam sejarah purbakala Indonesia. Pendapat ini diikuti oleh ilmuan di belakangnya seperti W. F. Stutterheim, J. C. Van Leur, T. W. Arnold, Bernard H. M. Vlekke, Schrieke, dan Clifford Geertz.
b.    Teori Kedua
Teori yang menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari India selatan, tepatnya dari Koromandel. Pendapat ini dipelopori oleh Snouck Hurgronje. Dia memperlihatkan pengaruh India Selatan dalam bidang sastera, tasawuf populer dan legenda-legenda agama suku-suku bangsa muslim di kepulauan Indonesia. Pendapat ini diperkuat oleh G. E. Marrison yang menyatakan bahwa Islam datang dari pantai Koromandel. Alasannya, Cambay pada tahun 1393 sebagai kota Hindu dan Gujarat baru jatuh ke tangan Muslim pada tahun 1297. Ia juga menyebutkan bahwa orang-orang Muslim sudah mapan selama berabad-abad di India Selatan, tanpa mempunyai kekuasaan politik, sebelum ekspansi kesultanan Delhi pada awal abad ke-14. Di samping itu, ia menyatakan bahwa mazhab Syafi’i tidak ghalib di Gujarat. Seluruh Hikayat Raja-raja Pasai mempunyai latar belakang yang sangat diwarnai oleh India Selatan.
2.    Teori Benggali
Teori Benggali berpendapat bahwa Islam Indonesia berasal dari Benggali (Bangladesh sekarang). Pendapat ini dikembangkan oleh S. Fatimi. Dengan bersandar kepada pendapat Marcopolo dan Tome Pires. S. Fatimi menyimpulkan bahwa Islamnya kerajaan Samudera Pasai berasal dari Benggali. Hal itu dikuatkannya dengan sudah terjalinnya hubungan niaga antara Benggali dan Samudera Pasai sejak zaman purba. Di samping itu, Benggali ditaklukkan orang-orang Muslim dan diislamkan pada kira-kira tahun 1200, satu abad sebelum Gujarat dan India Selatan.
Dalam bukunya Tome Pires juga menggambarkan tentang Samudera Pasai. Di Samudera Pasai banyak bermukim saudagar Moor dan India, yang terpenting adalah orang-orang Benggala. Keterangan Pires inilah yang merupakan titik pangkal pendapat bahwa Islam di Indonesia diimpor dari Benggala.
3.    Teori Arab
Adapun teori yang menyatakan Islam Indonesia berasal dari Arab, pertama kali dilontarkan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859) kemudian diikuti oleh Niemann (1861), de Hollander (1981), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan, bahwa Islam Indonesia berasal dari Mesir, dengan alasan Mesir menganut Mazhab Syafi’i ; Hollander berpendapat dari Hadramut juga dengan alasan negeri itu menganut mazhab Syafi’i ; sedangkan Veth hanya menyebutkan bahwa Islam Indonesia dibawa oleh orang-orang Arab, tanpa menyebutkan tempat asal. Di Indonesia pendapat ini dipopulerkan oleh Hamka. Teori yang dikembangkan Hamka ini mendapatkan perhatian dan pembenaran dalam seminar-seminar yang membahas sejarah masuknya Islam di Indonesia, baik nasional maupun lokal.
Ilmuan lainnya adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Dalam karangannya yang berjudul Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dia menyatakan: “ Teori bahwa Islam itu datangnya dari India dan dibawa serta dan disebarkan oleh orang-orang India harus kita tolak dan singkirkan pengenaannya terhadap sejarah asal-usul Islam di sini ”. Dia berpendapat bahwa dalam teori India itu penekanan didasarkan atas ciri-ciri “luar”. Dia menganjurkan agar penelusuran asal-usul Islam di sini dilakukan melalui kenyataan-kenyataan “dalam”. Dan tulisan serta bahasa dan kesusasteraan yang benar-benar merupakan ciri yang sah untuk memutuskan perkara ini. Menurutnya, tidak satupun laporan, rujukan atau sebutan yang merujuk kepada penulis India atau kepada kitab yang berasal dari India dan digubah oleh orang India. Mubaligh-mubaligh lama Islam di daerah ini pun terdiri dari orang-orang Arab.
    



B.          Teori Tentang Masa Kedatangan Islam di Indonesia
1.    Teori Pertama
Teori pertama, menyatakan bahwa Islam sudah datang di Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7/8 M. Di anatara ilmuan yang menganut teori ini adalah : J. C. Van Leur, T. W. Arnold, Hamka, Abdullah bin Nuh dan D. Shahab.
Di antara alasan yang dijadikan sandaran mereka adalah bahwa pada 674 di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan (koloni) Arab Islam. Bangsa Arab sudah aktif dalam lapangan perniagaan laut sejak abad-abad pertama Masehi. Mereka telah lama mengenal jalur perdagangan laut melalui Samudera Indonesia
2.    Teori Kedua
Teori kedua, menyatakan bahwa Islam datang di Indonesia pada abad ke-13. Di antara sejarawan yang menganut teori ini adalah C. Snouck Hurgronje. Pendapat ini kemudian diikuti oleh banyak sejarawan, seperti W. F. Stutterheim dan Bernard H. M. Vlekke. Pendapat ini di dasarkan pada batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni al-Malik al-Saleh yang wafat pada 1297. Alasan lainnya adalah keterangan Marcopolo yang menyatakan bahwa di Perlak pada tahun 1292, penduduknya telah memeluk agama Islam. Namun, dia menyatakan bahwa Perlak merupakan satu-satunya daerah Islam di Nusantara ketika itu.

II.2      Kedatangan Islam dan Cara Penyebarannya
Kedatangan Islam dan cara penyebarannya di kalangan golongan bangsawan dan rakyat umumnya, ialah dengan cara damai, melalui perdagangan dan dakwah yang dilakukan para pedagang, mubaligh-mubaligh atau orang-orang alim.
Indonesia sekarang merupakan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Penyebaran Islam di Indonesia diakui dengan cara-cara damai. Saluran-saluran islamisasi dan cara pelaksanaannya tentu tidak sedikit. Saluran-saluran itu saling berkaitan, sehingga saluran yang satu memperkuat saluran yang lain. Misalnya saluran perdagangan diperkuat dengan saluran perkawinan, saluran-saluran tasawuf diperkuat dengan saluran pendidikan, dan seterusnya.
Saluran-saluran itu diantaranya adalah:

1.    Saluran Perdagangan
Saluran perdagangan sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ke-7 hingga abad ke-16. Pada saat itu pedagang-pedagang muslim turut serta ambil bagian dalam perdagangan dengan di kawasan Indonesia. Penggunaan perdagangan sebagai saluran islamisasi dimungkinkan karena dalam Islam tidak ada pemisahan antara kegiatan berdagang dan kewajiban dakwah. Proses Islamisasi melalui saluran perdagangan dipercepat oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Mula-mula mereka berdatangan di pusat-pusat perdagangan dan di antaranya kemudian ada yang tinggal, baik untuk sementara waktu maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi perkampungan, yang disebut Pekojan. Lingkungan mereka makin luas dan dengan cara demikian lambat laun timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan muslim.

2.    Saluran Perkawinan
Melalui saluran perkawinan antara pedagang atau saudagar dengan wanita pribumi juga merupakan bagian yang erat berjalinan dengan Islamisasi. Perkawinan merupakan salah satu saluran Islamisasi yang lebih menguntungkan lagi apabila terjadi antara saudagar, ulama atau golongan lain, dengan anak bangsawan atau anak raja dan adipati, karena status sosial-ekonomi, terutama politik raja-raja, adipati-adipati, dan bangsawan-bangsawan pada waktu itu turut mempercepat proses Islamisasi.
3.    Saluran Tasawuf
Tasawuf juga merupakan salah satu saluran penting dalam proses Islamisasi. Para guru terekat memegang peranan penting juga dalamorganisasi masyarakat kota-kota pelabuhan. Mereka adalah guru-guru pengembara yang mengajarkan teosofi yang telah bercampur, yang dikenal luas oleh bangsa Indonesia tetapi yang sudah menjadi keyakinannya. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Mereka siap untuk memelihara kelanjutan dengan masa lampau dan menggunakan istilah-istilah dan anasir-anasir budaya pra-Islam dalam hubungan Islam. Di antara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran mistik Indonesia-Hindu adalah Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani di Aceh, Syekh Lemah Abang dan Sunan Panggung di Jawa.
4.    Saluran Pendidikan
Kecuali melalui Tasawuf, Islamisasi juga dilakukan melalui lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan Islam sudah berdiri sejak pertama kali Islam datang ke Indonesia. Di Aceh lembaga-lembaga pendidikan Islam itu mengambil bentuk yang beragam sehingga memunculkan beberapa nama, seperti meunasah, dayah dan rangkang. Di Sumatera Barat dikenal lembaga pendidikan Islam surau. Di Kalimantan dikenal lembaga pendidikan Islam langgar. Sementara di Jawa dikenal pondok dan pesantren. Belum lagi kalau dimasukkan ke dalam kriteria lembaga pendidikan Islam pengajian-pengajian al-Qur’an yang berlangsung di rumah-rumah alim ulama.
Di lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut dilangsung pembinaan calon guru-guru agama, kyai-kyai atau ulama-ulama. Setelah menamatkan pendidikan, mereka kembali ke kampung masing-masing atau ke desa-desanya, tempat mereka menjadi tokoh keagamaan.
5.    Saluran Kesenian
Saluran dan cara Islamisasi lain dapat pula melalui cabang-cabang kesenian seperti seni bangunan, seni pahat dan ukir, seni tari, seni musik dan seni sastra. Dengan kesenian ini dimaksudkan bahwa jenis-jenis kesenian pra-Islam tetap dipertahankan, sehingga penduduk Indonesia tidak merasa asing masuk ke dalam lingkungan Islam. Di antara karya seni yang terkenal dijadikan alat Islamisasi adalah pertunjukan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi minta agar para penonton mengikutinya mengucapkan Kalimat Syahadat, yang berarti dengan demikian orang menjadi masuk Islam. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi sedikit demi sedikit nama tokoh-tokohnya diganti menjadi nama-nama pahlawan Islam.


II.3.   Masuknya Islam Ke Indonesia

Ditinjau dari sudut sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara. Pada umumnya pembawa agama Islam adalah para pedagang yang berasal dari jazirah Arab, mereka merasa berkewajiban menyiarkan agama Islam kepada orang lain. Agama Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai, tidak dengan kekerasan, peperangan ataupun paksaan.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang waktu dan daerah yang mula-mula dimasuki Islam di Indonesia, di antaranya yaitu:
A.      Drs Juned Pariduri, berkesimpulan bahwa agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui daerah Sumatra Utara (Tapanuli) pada abad ke-7. Kesimpulan ini didasarkan pada penyelidikannya terhadap sebuah makam Syaikh Mukaiddin di Tapanuli yang berangka tahun 48 H (670 M).

B.       Hamka, berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada abad ke-7 M(674). Hal ini didasarkan pada kisah sejarah yang menceritakan tentang Raja Ta-Cheh yang mengirimkan utusan menghadap Ratu Sima dan menaruh pundi-pundi berisi emas ditengah-tengah jalan dengan maksud untuk menguji kejujuran, keamanan dan kemakmuran negeri itu. Menurut Hamka, Raja Ta-Cheh adalah Raja Arab Islam.

C.       Zainal Arifin Abbas, berpendapat bahwa agama Islam masuk di Sumatra Utara pada abad 7 M (648). Beliau mengatakan pada waktu itu telah datang di Tiongkok seorang pemimpin Arab Islam yang telah mempunyai pengikut di Sumatra Utara.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Pada abad ke-13 agama Islam berkembang dengan pesat  ke seluruh Indonesia. Hal itu di tandai dengan adanya penemuan-penemuan batu nisan atau makam yang berciri khas Islam, misalnya di Leran (dekat Gresik) terdapat sebuah batu berisi keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun pada tahun 1082 dan di Samudra Pasai terdapat makam-makam Raja Islam, di antaranya Sultan Malik as-Shaleh yang meninggal pada tahun 676 H atau 1292 M.
Berbeda dengan pendapat di atas, dua orang sarjana barat yaitu Prof. Gabriel Ferrand dan Prof. Paul Wheatly. Bersumber pada keterangan para musafir dan pedagang Arab tentang Asia Tenggara, maka ke-2 sarjana tersebut bahwa agama Islam masuk ke Indonesia sejak awal ke-8 M, langsung dibawa oleh para pedagang dan musafir Arab.





II.4  Perkembanagn islam di indonesia
1.    Sumatera
a.    Pantai Barat Pulau Sumatera
Sesuai dengan keputusan “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” yang diadakan di Medan tahun 1963, maka tempat yang mula-mula masuknya Islam di Pulau Sumatera adalah “Pantai Barat Sumatera”. Dari sana berkembang ke daerah-daerah lainnya. Beberapa ahli yang berpendapat tentang masuknya Islam di Sumatera pada abad Ke-7 M itu yaitu: Sayed Alwi bin Tahih al Haddad Mufsi, H. M. Zaenuddin, Zainal Arifin Abbas
b.    Samudera Pasai
Agama Islam berkembang di Indonesia mula-mula di Pasai Aceh Utara. Para pembawa agama Islam ini mula-mula berda’wah di kalangan rakyat biasa lewat perdagangan. Dengan kesopanan dan keramahan orang Arab yang berda’wah itu, maka penduduk Pasai sangat terkesan dan akhirnya menyatakan diri masuk Islam. Begitu pula Raja dan para pemimpin negeri masuk Islam.
Maka berdirilah Kerajaan Islam pertama kali di Pasai. Pada saat itu, tiba masanya perkembangan Islam khususnya di daerah Aceh dan Sumatera Utara untuk memperluas penyiaran Islam. Maka berkembanglah Islam dari Pasai ke Malaka, Tapanuli, Riau, Minangkabau, Kerinci dan ke daerah-daerah lainnya. Kerajaan Islam Pasai berdiri sekitar tahun 1297, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Serambi Makkah”.
c.    Sumatera Barat
Setelah agama Islam berkembang di Pasai, tidak lama sesudah itu tersebar pula ke daerah-daerah lain yaitu ke Pariaman Sumatera Barat. Islam datang ke Pariaman dari Pasai dengan melalui laut “Pantai Barat Pulau Sumatera”. Ulama yang terkenal membawa Islam ke Pariaman itu adalah Syekh Burhanuddin. Penyiaran agama Islam dilakukan secara pelan-pelan dan bertahap, sebab adat di Sumatera Barat sangat kuat.
Sebagai bukti bahwa agama Islam diterima oleh masyarakat Sumatera Barat dengan kerelaan dan kesadaran adalah dengan populernya pepatah yang mengatakan : “Adat bersendi syara”, syara bersendi Kitabullah”. Jadi adat istiadat yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat Sumatera Barat itu adalah “Adat yang bersendikan Islam” artinya Islam menjadi dasar adat.
d.   Sumatera Selatan
Sekitar tahun 1440 agama Islam masuk ke Sumatera Selatan. Mubaligh yang paling berjasa membawa Islam ke Sumatera Selatan adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Arya Damar yang terkenal dengan nama Aryadillah (Abdillah) adalah Bupati Majapahit di Palembang waktu itu, kemudian Raden Rahmat (Sunan Ampel) memberi saran kepada Abdillah agar bersedia menyebarkan agama Islam di Sumatera Selatan. Atas rahmat dan petunjuk Allah, saran Raden Rahmat tersebut dilaksanakan oleh Ardillah, sehingga agama Islam di Sumatera Selatan berkembang dengan baik.
2.    Jawa
Menurut berita Tionghoa pada tahun 1416 M di tanah Jawa sudah banyak orang Islam, tetapi orang asing. Hal ini dapat dikaitkan dengan wafatnya seorang mubaligh Islam yang mula-mula menyiarkan Islam di Jawa, yaitu Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419)
Sebelum Maulana Malik Ibrahim ke tanah Jawa, rupanya telah banyak pedagang-pedagang Islam yang berniaga sambil menyiarkan agama Islam. Hal ini dikuatkan dengan diketemukan makam dari seorang wanita Islam yang bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H/1082 M dimakamkan di Gresik.
Dalam mengupas tersebarnya Islam di Jawa tidaklah lengkap rasanya bila tidak mengemukakan “Wali Songo” sebagai mubaligh-mubaligh ternama di tanah Jawa. Para wali itu sangat besar jasanya dalam penyiaran Islam di Jawa, walaupun banyak rintangan yang mereka hadapi, namun dengan ketekunan, kebijaksanaan dan perjuangan mereka, Islam bisa masuk ke pelosok-pelosok tanah Jawa.
3.    Kalimantan
a.    Kalimantan Selatan
Di pulau Kalimantan, agama Islam mula-mula masuk di Kalimantan Selatan. Nama kotanya adalah Banjarmasin. Pembawa agama Islam ke Kalimantan Selatan ini adalah para pedagang bangsa Arab dan para mubaligh dari pulau Jawa. Perkembangan agama Islam di Kalimantan Selatan itu sangat pesat dan mencapai puncaknya setelah kerajaan Majapahit runtuh tahun 1478.

b.    Kalimantan Barat
Daerah lainnya di Kalimantan yang dimasuki agama Islam adalah kalimantan Barat. Islam masuk ke Kalimantan Barat itu mula-mula di daerah Muara Sambas dan Sukadana. Dari dua daerah inilah baru kemudian tersebar ke seluruh Kalimantan Barat. Pembawa agama Islam ke daerah Kalimantan Barat adalah para pedagang dari Johor (Malaysia) dan Mubaligh dari Palembang (Sumatera Selatan).
Sultan Islam yang pertama (tahun 1591) di Kalimantan Barat berkedudukan di Sukadana yaitu Panembahan Giri Kusuma. Sedang Sultan Sukadana yang kedua Sultan Muhammad Safiuddin (1677).
4.    Sulawesi
Islam masuk ke Sulawesi pada awal abad XVI M dimulai dari Sulawesi Selatan. Hal ini dikaitkan bahwa pada tahun 1540 M di Sulawesi Selatan telah dijumpai pemeluk-pemeluk Islam, terutama suku Bugis dan Makasar. Kerajaan di Sulawesi Selatan yang mula-mula menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan ialah Kerajaan Goa dan Tallo. Raja Tallo yang merangkap pekerjaan sebagai Mangkubumi kerajaan Goa, dan menerima Islam sebagai agamanya adalah Malingkrang Daeng Manyari. Sesudah memeluk agama Islam, beliau bergelar Sultan Abdullah Awwalalul Islam. Selanjutnya Raja Goa ke XIV Baginda I Manggerengi Daeng Manrabia juga memeluk Islam, lalu berganti nama menjadi Sultan Alaudin. Dengan masuk Islamnya raja-raja Tallo dan Goa, maka rakyat segera mengikutinya. Dan dalam waktu dua tahun seluruh rakyat Goa dan Tallo di-Islamkan. Adapun mubaligh yang berjasa dalam meng-Islamkan raja dan rakyat Goa dan Tallo adalah Abdul Qadir Khatib Tunggal, berasal dari Minangkabau dan diperkirakan pernah menjadi murid Sunan Giri.

5.    Nusa Tenggara
Pada tahun 1540 agama Islam masuk pula ke Nusatenggara. Masuknya agama Islam ke Nusatenggara dibawa oleh para mubaligh dari Bugis (Sulawesi Selatan) dan mubaligh dari pulau Jawa.
Agama Islam berkembang di Nusatenggara mula-mula di daerah Lombok yang penduduknya disebut suku Sasak. Agama masuk Lombok dengan damai atas jasa dari mubaligh-mubaligh  orang Bugis yang masyhur pandai berlayar dan berdagang itu. Secara berangsur-angsur akhirnya penduduk Lombok mayoritas beragama Islam. Dari daerah Lombok, secara pelan-pelan selanjutnya tersebar pula ke daerah-daerah Sumbawa dan Flores
Yang berjasa besar untuk meng-Islamkan penduduk Nusa tenggara itu ialah pedagang-pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan, dan ada pula pedagang dan mubaligh dari Jawa. Peng-Islaman di Nusatenggara dengan lancar dan dapat mencapai prosentasi yang tinggi ialah di Lombok dan Sumbawa.
Lebih dari itu Sumbawa berhasil mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Bima. Pengembangan agama Islam di Bima sejak awal abad ke-16, penyiarannya datang dari dua arah yaitu dari Jawa dan dari Sulawesi Selatan.
Yang berhasil meng-Islamkan penduduk Flores ialah : kaum muslimin Bugis dengan jalan mempelajari Bahasa Flores dengan menyesuaikan adat istiadat di sana. Dengan demikian penduduk Flores banyak yang masuk Islam sekalipun mereka sudah beragama Katholik.


II.5.   Corak dan Perkembangan Islam di Indonesia
A.      Masa Kesulthanan
Untuk melihat lebih jelas gambaran keislaman di kesultanan atau kerajaan-kerajaan Islam akan di uraikan sebagai berikut.
Di daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama Islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan Islam selanjutnya tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar, di  berlakukannya hukum bunuh bagi orang murtad, hukum potong  tangan untuk pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat zina.
Guna memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa, maka dilakukan upaya agar Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid sebagai pusat pendidikan Islam.
Dengan kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kekuasaannya. Ini  seperti  ketika di pimpin oleh Sultan Agung. Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti sebenarnya.

B.       Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses transformasi sosial yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris. Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang di kenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
1.         Bidang agama murni atau ibadah;
2.         Bidang sosial kemasyarakatan; dan
3.         Politik.

Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.

C.      Gerakan dan organisasi Islam
Akibat dari  “resep politik Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide etimpera, politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun, ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah pemikir-pemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan  (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama tradisional.
Selama pendudukan jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari pada golongan nasionalis karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga perantara politik berikut ini yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang yang menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
1.         Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda.
2.         Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943.
3.         Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan Allah), semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin.

II.6    Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:
a.         Hamzah Fansuri
Ia hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.

b.        Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.

c.         Syaikh Abdussamad Al-Palimbani
Ia merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.

d.        Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia belajar Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.

e.         Wali Songo
Dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa terdapat sembilan orang ulama yang memiliki peran sangat besar. Mereka dikenal dengan sebutan wali songo.
Para wali ini umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak dari abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16. Para wali menyebarkan Islam di Jawa di tiga wilayah penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), Demak, Kudus dan Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah para ulama yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Adapun wali-wali tersebut yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria.










II.7  Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
1. Ilmu-ilmu Keagamaan
Perjuangan itu dilakukan, diberbagai aspek antara lain pendidikan, kesehatan, dakwah, sosial, politik hingga teknologi. Setidaknya ada dua cara yang dilakukan oleh para ulama dalam menumbuhkembangkan ajarannya yaitu sebagai berikut :
a. Membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang lebih luas.
b. Melalui karya-karya tulisan yang tersebar dan dibaca di seluruh Nusantara. Karya-karya itu mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu agama di Indonesia pada masa itu.

Ilmuwan-ilmuwan muslim di Indonesia tersebut, antara lain :
a. Hamzah Fansuri (sufi) dari Sumatera Utara. Karyanya yang berjudul Asrar Al Arifin fi Bayan ila Suluk wa At Tauhid.
b. Syamsuddin As Sumatrani dengan karyanya berjudul Mir’atul Mu’min (Cermin Orang Beriman).
c. Nurrudin Ar Raniri, yaitu seorang yang berasal dari India keturunan Arab Quraisy Hadramaut. Karya-karyanya meliputi ilmu fikih, hadis, akidah, sejarah, dan tasawuf yang diantaranya adalah As Sirat Al Mustaqim (hukum), Bustan As Salatin (sejarah), dan Tibyan fi Ma’rifat Al Adyan (tasawuf).
d. Abdul Muhyi yang berasal dari Jawa. Karyanya adalah kitab Martabat Kang Pitu (Martabat yang Tujuh).
e. Sunan Bonang dengan karyanya Suluk Wijil
f. Ronggowarsito dengan karyanya Wirid Hidayat Jati
g. Syekh Yusuf Makasar dari Sulawesi (1629-1699 M). Karya-karyanya yang belum diterbitkan sekitar 20 buah yang masih berbentuk naskah.
h. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1812 M) seorang ulama produktif yang menulis kitab sabitul Muhtadil (fikih).
i. Syekh Nawawi Al Bantani yang menulis 26 buah buku diantaranya yang terkenal Tafsir Al Muris
j. Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau (1860-1916 M)

2. Arsitektur Bangunan
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau memiliki penduduk yang juga terdiri dari beragam suku, bangsa, adat, kebiasaan dan kebudayaan masing-masing. Oleh karena itu perbedaan latar belakang tersebut, arsitektur bangunan-bangunan Islam di Indonesia tidak sama antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Beberapa hasil seni bangunan pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain. Masjid-masjid kuno di Demak, Sandang Duwur Agung di Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten dan Masjid Baiturahman di Aceh.

Beberapa masjid masih memiliki seni masih memiliki seni bangunan yang menyerupai bangunan merupai pada zaman Hindu. Ukiran-ukiran pada mimbar, hiasan lengkung pola kalamakara, mihrab dan bentuk mastaka atau memolo menunjukkan hubungan yang erat dengan kebudayaan agama Hindu, seperti Masjid Sendang Duwur.


II.8 Peranan Umat Islam pada Masa Penjajahan, Masa Kemerdekaan dan Masa Perkembangan
1. Masa penjajahan
Jauh sebelum Belanda masuk ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Nusantara telah memeluk agama Islam yang ajarannya penuh kedamaian, saling menghormati, dan tidak bersikap buruk sangka terhadap bangsa asing. Semula bangsa asing seperti Portugis dan Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi dalam perkembangan selanjutnya niat itu berubah menjadi keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai koloni di bawah kekuasaan dan jajahannya. Portugis berhasil meluaskan wilayah dagangnya dengan menguasai Bandar Malaka di tahun 1511 sehingga akhirnya mereka dapat masuk ke Maluku, Ternate dan Tidore.

Portugis juga mematikan aktivitas perdagangan kaum muslim Indonesia di daerah lainnya seperti Demak. Pada tahun 1527 M, Demak di bawah pimpinan Fatahillah berhasil menguasai Banten. Banten dan Aceh kemudian menjadi pelabuhan yang ramai menggantikan Bandar Malaka.

Dilandasi semangat tauhid dan hasil pendidikan yang diperoleh dari pesantren menyebabkan semakin bertambahnya kader pemimpin dan ulama yang menjadi pengayom masyarakat. Kaum bangsawan dan kaum adat yang semula tidak memahami niat para ulama untuk mempertahankan Indonesia dari cengkeraman penjajah secara perlahan bersatu padu untuk mempertahankan Nusantara dari ekspansi Belanda.

Contoh perlawanan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut antara lain:
1. Tuanku Imam Bonjol melalui Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat.
2. Pangeran Diponegoro (1815-1838) melalui Perang Diponegoro di Jawa Tengah.
3. Perang Aceh (1873-1904) di bawah pimpinan Panglima Pilom, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar, dan Cut Nyak Din.

2. Masa Kemerdekaan
Umat Islam kemudian mengganti perjuangannya melawan penjajahan dengan strategi atau jalan mendirikan organisasi-organisasi Islam yang diantaranya sebagai berikut :
a. Syarikat Dagang Islam
Syarikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam berdiri pada tahun 1905 dipimpin oleh H. samanhudi, A.M. Sangaji, H.O.S. Cokroaminoto dan H. Agus Salim. perkumpulan ini berdiri dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup bangsa ndonesia, terutama dalam dunia perniagaan.

b. Jam’iatul Khair
Berdiri pada tahun 1905 M di Jakarta adalah pergerakan Islam yang pertama di pulau Jawa. Anggotanya kebanyakan keturunan (peranakan) Arab.

c. Al Irsyad
Al Irsyad adalah organisasi Islam yang didirikan tahun 1914 M oleh para pedagang dan ulama keturunan Arab, seperti Syekh Ahmad Sorkali.

d. Perserikatan Ulama
Gerakan modernis Islam yang berdiri pada tahun 1911 M oleh Abdul Halim dan berpusat di Majalengka Jawa Barat. Organisasi ini diakui keberadaannya oleh Belanda tahun 1917 dan bergerak dibidang ekonomi dan sosial, seperti mendirikan panti asuhan yatim piatu pada tahun 1930 M.

e. Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan bertepatan tanggal 8 Zulhijah 1330. Muhammadiyah bukan merupakan partai politik, tetapi gerakan Islam yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan.

f. Nahdatul Ulama
Didirikan pada bulan Januari 1926 oleh KH. Hasyim Asy’ari yang bertujuan membangkitkan semangat para ulama Indonesia dengan cara meningkatkan dakwah dan pendidikan karena saat itu Belanda melarang umat Islam mendirikan sekolah-sekolah yang bernafaskan Islam seperti Pesantren.

3. Masa Perkembangan
Di masa perkembangan atau setelah memperoleh kemerdekaan, umat Islam juga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya memajukan bangsa dan negara. Peran-peran tersebut antara lain dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut.

a. Membentuk Departemen Agama
Tujuan dan fungsi Departemen Agama dirumuskan sebagai berikut:
1) Mengurus serta menuntut pendidikan agama di sekolah-sekolah serta membimbing perguruan-perguruan agama.
2) Mengikuti dan memperhatikan hal-hal yang bersangkutan dengan agama dan keagamaan.
3) Memberi penerangan dan penyuluhan agama.

b. Di Bidang Pendidikan
Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosok daerah. Lembaga ini dipimpin oleh seorang kyai dan saat ini sudah banyak muncul pesantren yang bersifat modern. Artinya, pendidikan Islam tersebut memiliki kurrikulum dan jenjang-jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar (ibtidaiyah), menengah (tsanawiyah), dan tingkat atas (aliyah), bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi, seperti Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).

c. Majelis Ulama Indonesia
Selain Departemen Agama, pemerintah Indonesia juga mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu suatu wadah kerja sama antara pemerintah dan ulama dalam urusan keorganisasian, khususnya agama Islam. Majelis Ulama Indonesia bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat berdiri pada bulan Oktober 1962 yang memiliki tujuan awal antara lain sebagai berikut :
1) Pembinaan mental dan agama bagi masyarakat.
2) Ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan revolusi dan pembangunan semesta berencana dalam rangka demokrasi terpimpin.














































BAB III
PENUTUP

III.1  Hikmah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia
Setelah memahami bahwa perkembangan Islam di Indonesia memiliki warna atau ciri yang khas dan memiliki karakter tersendiri dalam penyebarannya, kita dapat mengambil hikmah, diantaranya sebagai berikut:
1. Islam membawa ajaran yang berisi kedamaian.
2. Penyebar ajaran Islam di Indonesia adalah pribadi yang memiliki ketangguhan dan pekerja keras.
3. Terjadi akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan lokal meskupin Islam tetap memiliki batasan dan secara tegas tidak boleh bertentangan dengan ajaran dasar dalam Islam.

III.2  Manfaat dari Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia
Banyak manfaat yang dapat kita ambil untuk dilestarikan diantaranya sebagai berikut:
1. Kehadiran para pedagang Islam yang telah berdakwah dan memberikan pengajaran Islam di bumi Nusantara turut memberikan nuansa baru bagi perkembangan pemahaman atas suatu kepercayaan yang sudah ada di nusantara ini.
2. Hasil karya para ulama yang berupa buku sangat berharga untuk dijadikan sumber pengetahuan.
3. Kita dapat meneladani Wali Songo telah berhasil dalam hal-hal seperti berikut.
a. Menjadikan masyarakat gemar membaca dan mempelajari Al Quran.
b. Mampu membangun masjid sebagai tempat ibadah dalam berbagai bentuk atau arsitektur hingga ke seluruh pelosok Nusantara
4. Mampu memanfaatkan peninggalan sejarah, termasuk situs-situs peninggalan para ulama, baik berupa makam, masjid, maupun peninggalan sejarah lainnya.
5. Seorang ulama atau ilmuwan dituntut oleh Islam untuk mempraktikkan tingkah laku yang penuh keteladanan agar terus dilestarikan dan dijadikan panutan oleh generasi berikutnya.
6. Para ulama dan umara bersatu padu mengusir penjajah meskipun dengan persenjataan yang tidak sebanding.

III.3  Perilaku Penghayatan Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia
Ada beberapa perilaku yang merupakan cerminan dari penghayatan terhadap manfaat yang dapat diambil dari sejarah perkembangan Islam, yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Berusaha menjaga persatuan dan kerukunan antaraumat beragama, saling menghormati, dan tolong menolong.
2. Menyikapi kejadian masa lalu dengan sikap sabar dan tetap meyakini bahwa setiap kejadian pasti ada hikmahnya.
3. Sumber ilmu pengetahuan yang berupa karya tulis dari para ulama hendaknya terus digali atau dipelajari dan dipahami maksudnya.

0 Comentarios

Follow Me On Instagram